Membuat perapian merupakan salah satu teknik hidup di alam bebas yang
sangat penting terutama dalam kondisi survival. Banyak manfaat yang
bisa diperoleh dari membuat perapian. Memasak, menghangatkan badan serta
menjauhkan kita dari binatang merupakan bagian darinya. Selain itu
perapian juga memberikan suatu efek psikologi yang besar. Kita akan
merasa tenang dan nyaman jika berada di dekatnya. Namun semakin besar
perapian, pengawasannya juga harus lebih ketat karena kemungkinan
terjadi kebakaran menjadi semakin besar juga. Selain itu kita dituntut
untuk sebijaksana mungkin memilih bahan-bahan kayu yang diperlukan.
Selain
membuat perapian dalam tungku (hawu) di rumahnya, beberapa penduduk
Cihanjawar yang punya kebiasaan berburu dan melewatkan beberapa hari di
dalam hutan, memiliki teknik membuat api dan perapian. Mungkin bagi
masyarakat Cihanjawar sendiri, membuat perapian seperti ini tentulah
merupakan kebiasaan sehari-hari bagi mereka dan tidak ada yang menarik.
Dari beberapa kali pengamatan, mereka ternyata telah melakukan
prinsip-prinsip dasar dalam membuat suatu perapian yang baik.
Namun,
terlebih dulu kita harus kembali mengingat tiga unsur penting dalam
membuat suatu perapian, yaitu panas, bahan bakar dan udara. Setelah
ketiga hal ini terpenuhi maka unsur penyusunan bahan bakar perapian
menjadi hal yang sangat penting.
Selalu persiapkan
terlebih dahulu bahan bakar yang cukup. Pisahkanlah bahan ini
berdasarkan ukurannya. Pisahkan ranting-ranting kecil dengan ranting
yang agak besar dan batang kayu yang besar. Jika kayunya agak lembab
ataupun basah, sisiklah terlebih dahulu bagian yang basah atau bisa juga
dengan membuat cacahan-cacahan pada batangnya sehingga menyerupai
bunga-bunga kayu.
Urutan kerjanya adalah sebagai berikut;
a. Siapkan bahan bakar yang cukup, ambilah sebatang kayu yang berukuran sedang sebagai tumpuan bawah (Gambar 1a).
b.
Lalu dapat dipalangkan dua buah kayu yang juga berukuran sedang (Gambar
1b). Jangan sampai jarak antara tanah dengan kayu kedua terlalu tinggi
sehingga menyulitkan panas api (pembakaran) sampai ke atas. Hal ini akan
mengakibatkan kayu yang diatas sulit terbakar dan menjadi bara
sedangkan kayu yang telah menjadi bara dibawah akan cepat habis jika
tidak diberi “umpan” lagi.
c. Susun lagi ranting-ranting
kecil dengan memalangkannya di atas kedua kayu yang dibuat diatas
(Gambar 1c). Pastikan ranting-ranting ini tidak mudah
terjatuh/menggelincir ke bawah. Oleh karena itu usahakan kedua palang
kayu tersebut tidak terlalu miring.
d. Susunlah
ranting-ranting yang paling kecil sehingga api yang muncul dapat dengan
mudah membakar ranting tersebut. Jangan menumpuk ranting secara
berlebihan (Gambar 1d).
e. Nyalakan api dengan bantuan
korek, atau pemantik (dalam bahasan ini memang kita tidak akan
membicarakan bagaimana membuat api dengan metoda-metoda yang ada tapi
lebih mengarah pada pembuatan perapian) di bagian paling dasar. Gunakan
bantuan daun-daun kering atau plastik sampah.
f. Jika api
sudah menjilat ranting-ranting yang paling kecil, tetap lakukan perautan
kayu menjadi bagian-bagian yang kecil dan digunakan sebagai umpan.
Usahakan agar lidah api membakar ranting atau daun kering untuk
memperbesar nyala api.
g. Apabila ranting terlalu ke sisi (sehingga tidak terbakar), pindahkanlah ke bagian yang “terjilat”oleh lidah api.
h. Terus tumpuk ranting-ranting kayu sambil tetap memberi lubang sebagai sirkulasi udara
i.
Perhatikan jarak antara sumber api dengan ranting/kayu yang dibakarnya.
Jangan terlalu jauh dan juga jangan sangat berdekatan.
Urutan kerja pembuatan suatu perapian di Cihanjawar Gunung, susunan kayu bakar untuk perapian sistem blok
Setelah
nyala api cukup stabil dan terdapat bara yang cukup banyak, letakan
kayu-kayu yang lebih besar sebagai umpan. Susunlah kayu tersebut secara
beraturan. Usahakan tetap memberi umpan-umpan kecil di lubang-lubang
yang terbuka sehingga bara terus dihasilkan.
Kelebihan
cara ini adalah mudah untuk membuatnya. Persiapkan bahan secukupnya.
Dalam kondisi survival, perapian seperti ini akan membantu karena
digunakan untuk keperluan tertentu saja dan tidak lama. Untuk
memadamkannya juga tidak terlalu sulit.
Kekurangan sistem
ini adalah rentan terhadap hujan sehingga kita harus memberikan
perlindungan khusus. Jika nyala api belum stabil kondisinya akan lebih
buruk lagi. Perapian tidak akan selesai karena umpan kayu dan rantingnya
menjadi basah.
Namun dalam kondisi-kondisi survival, cara
ini kemungkinan berhasilnya lebih besar dan lebih mudah dibuat
dibandingkan dengan cara yang akan diterangkan dibawah ini.
Sistem ini dibuat dengan cara menumpuk bahan kayu bakar dengan rapat (Gambar 2).
Perapian Sistem “Blok”
Persiapkanlah
terlebih dulu ranting-ranting dengan berbagai ukuran. Pisahkan
jenis-jenis ranting ini berdasarkan ukuran tersebut. Sedapat mungkin
carilah kayu-kayu yang telah rubuh atau telah mati. Jangan memakai bahan
kayu yang tumbuh di daerah perairan (seperti tepian sungai, tepi
danau); meskipun telah mati dan kering, kayu dari daerah ini tidak akan
terbakar kecuali menjadi arang.
Cara menumpuk/menyusun kayu bakar:
1. Jajarkan di atas tanah; kayu yang sama ukuran sebesar lengan tangan pada lapis pertama dan ke-2 serapat mungkin.
2.
Jajarkan kayu berdiameter lebih kecil serapat mungkin pada 3-5 lapisan
berikutnnya. Setiap lapisan dengan posisi (secara horisontal)
bersilangan antar lapisan (Gambar 2).
3. Buat sedikit
ruang kosong dan “pintu” di bagian tengah/bawah: untuk menaruh bahan
awal api/umpan (yg terdiri dari ranting, potongan kayu kecil dan kering)
secukupnya. Susunlah diatasnya lapisan jajaran kayu berikutnya;
Mulailah dengan jajaran kayu berdiameter kecil (sebesar jari tangan)
beberapa lapis.
4. Diatasnya, buatlah jajaran kayu yang
lebih besar: lapisan kayu sebesar lengan 2-3 lapis, kemudian dilanjutkan
lapisan jajaran kayu yg lebih besar: sebesar kaki s/d sebesar paha pada
bagian paling atas.
5. Ingat antar lapisan tumpukan saling bersilangan!
Menyalakan dan memelihara api awal
1. Buka pada “pintu” di bagian tengah atau bawah tumpukan (bagian lapisan kayu kecil)
2. Letakkan ditengahnya bahan api awal (lilin, ranting dan daun kering) dan nyalakan.
3. Tutup kembali “pintu” dengan kayu.
4. Biarkan dan tunggu beberapa saat (1/2-1 jam), api akan membakar lapisan diatasnya.
Pada
awalnya api tak akan terlihat, melainkan mengepulkan asap/uap akibat
pemanasan terhadap kayu basah diatasnya. Semakin tipis asap mengepul
pertanda api awal akan padam.
5. Jika api awal padam, buka pintu dan isi kembali dengan bahan awal yang cukup kering dan nyalakan kembali.
Semakin tebal asap semakin baik dan menjadi jaminan api unggun akan menyala.
6.
Jika api telah membakar 2-3 lapisan kayu diameter besar diatasnya, kita
mulai bisa membuka lapisan teratas untuk merasakan apinya.
Kelebihan:
- Kayu basah dan diameter batang pohon cukup tebal (besar) dapat habis terbakar
- Daya tahan (durasi)/lama waktu bakar cukup lama
-
Saat pembakaran kayu awal: tak perlu dilindungi, dalam kondisi hujanpun
bisa ditinggalkan (tanpa pengawasan/penjagaan terus menerus).
Kekurangan:
- Waktu yang dibutuhkan dari api awal s/d api unggun menyala: cukup lama (1-2 jam)
- Memakan waktu dan energi cukup besar untuk menebang pohon/ bahan kayu bakar
Mengiris kayu menjadi serpihan kecil (bunga-bunga kayu) untuk bahan awal membuat api.
Membuat
api model blok dalam kondisi survival sebenarnya tidak begitu efektif.
Selain membuang banyak tenaga, kondisi survival hanya sementara dan
diusahakan berpindah ke kondisi yg lebih baik, terkecuali kita melakukan
survival diam di tempat (statis) dengan syarat lainnya terpenuhi,
contoh air, bahan makanan, perlindungan.
Model ini lebih
cocok digunakan dalam perkemahan statis yang relatif lama di satu
tempat. Contoh: di Kemah penelitian atau saat latihan seperti pendidikan
dasar.
Saat latihan (misalnya pendidikan dasar) perapian
seperti ini digunakan untuk pengamanan bagi peserta juga (sebagai
penghangat, pengolahan masakan yang cukup besar, antisipasi jika terjadi
kedinginan/kehujanan, hipotermi dan lain-lain).
Etika Membuat Perapian
Terkadang membuat perapian menjadi suatu perdebatan di kalangan penggiat alam terbuka dan pemerhati lingkungan.
Beberapa hal yang perlu dijadikan perhatian dalam membuat perapian adalah:
1.
Buatlah perapian yang secukupnya, tidak terlalu besar dan membutuhkan
bahan bakar kayu yang banyak, sesuaikan dengan maksud kita membuat
perapian.
2. Jangan menebang kayu sembarangan! Walaupun
terkadang hal ini sangat kontradiktif dengan pembuatan perapian, bukan
berarti membuat suatu perapian dilarang sama sekali. Yang diperlukan
adalah kebijaksanaan kita saat membuat dan menggunakannya. Pilihlah kayu
yang telah tumbang ataupun mati yang cukup kering/tidak mengandung
banyak air. Cukup banyak ranting-ranting yang telah mati di dalam hutan
dan dapat digunakan daripada melakukan penebangan. Daun-daun kering juga
dapat dipergunakan sebagai “pemancing” dalam membuat perapian.
3.
Pastikan perapian yang akan dipadamkan benar-benar telah mati/padam.
Setelah itu dikubur dalam tanah. Perhatikan bagian dasar dari perapian
terbuat dari gambut, tanah, atau akar-akar kayu yang menumpuk. Sebaiknya
membuat api di atas tanah karena akar ataupun gambut dapat terbakar
secara menjalar di lapisan bawah tanpa terlihat oleh kita.
“Membakar hutan lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan menanam pohon”.
Panoramix
dukun Galia, saat ditanya “apakah dia memiliki obat untuk mempercepat
tumbuhnya pohon?”. Sohib Asterix ini menjawab; “Tumbuh pohon memerlukan
waktu, setelah berkali-kali matahari terbit dan tenggelam, tahun ke
tahun untuk menjadi besar”.
Setidaknya kita dapat belajar dari
masyarakat Cihanjawar Gunung yang masih tetap memelihara hutannya
walaupun masih mempergunakan kayu bakar saat memasak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar