Jangan Mau Celaka di Gunung
Maunya mendapati hal-hal
baru dan kepuasan. Yang terjadi justru celaka. Betulkah gunung
menyeramkan? Kenapa masih ada juga korban tewas?
Buat
sejumlah pendaki gunung, tentu akrab dengan ungkapan George
Leigh-Mallory. “Because it is there,” ujar pendaki legendaris asal
Inggris itu. Ungkapan ini seolah menjadi pemicu semangat para pendaki
gunung.
Di Indonesia pun begitu. Hampir semua kelompok
pencinta alam mengawali kegiatannya dengan mendaki gunung. Alasannya
tiada lain, karena kegiatan alam bebas ini paling gampang dilakukan.
Bandingkan dengan arung jeram, panjat tebing, atau penelusuran goa,
misalnya. Selain medannya yang lebih sulit ditemui, juga tiga kegiatan
tersebut memerlukan latihan dasar dan kekuatan fisik lebih.
Sudah
begitu, mendaki gunung juga relatif murah dilakukan. Ongkosnya tak
mahal. Bahkan, kalau kita sempat jalan ke Cipanas, masih ada saja
pendaki yang bermodal jempol tangan untuk transport, alias menghentikan
truk di pinggir jalan untuk ditebengi.
Peralatannya pun
tak sebanyak kegiatan outdoor activity lainnya. Cukup tas ransel, tenda,
jaket, dan sepatu. Semuanya tak sulit dicari. Pendeknya, kita tinggal
lenggang kangkung kalau mau mendaki gunung. Makanya, tak heran jumlah
wisatawan yang mendaki gunung makin banyak saja.
Gunung
Gede (2958 mdpl) dan Pangrango (3019 mdpl) saban akhir minggu padat
pendaki. Begitu pula gunung lainnya di Pulau Jawa. Bahkan pada setiap 17
Agustus, ratusan bahkan ribuan pendaki menggelar upacara Hari
Proklamasi di puncak gunung. Rute pendakian seperti jalur lalu lintas
saja.
Ini membuktikan bahwa mendaki gunung memang kegiatan
alam bebas yang paling populer. “Mendaki gunung sama sekali tidak
membahayakan,” ujar salah seorang anggota MAPALA UI.
Pantas
jika ada orang merasa seperti ketagihan. Bilangnya, mendaki gunung
seperti halnya mencari hiburan. “Kalo udah di gunung lupa segalanya.
Nggak stres,”
Tapi, siapa sangka di balik kepopuleran dan
kepuasan itu, justru mendatangkan korban. beberapa waktu yang lalu,
Gunung Salak kembali memakan korban. Mad Rizal, remaja 18 tahun tewas
lantaran diduga kedinginan dan menghirup gas belerang yang dihasilkan
dari kawah gunung bertinggi 2211 mdpl.
Gas belerang
Benarkah di Gunung Salak terdapat gas belerang?
“Ada.
Persisnya di Kawah Ratu,” jelas Antonius Satyo, Ketua Umum Wanadri.
Namun, menurut Perdana, gas yang dikeluarkan gunung itu sebenarnya tak
membahayakan. Itu kalau kita tahu lokasi mana yang membahayakan.
Tapi
bagaimana dengan kasus di Gunung Salak? Yang menjadi korban bukan cuma
Mad Rizal. Enam orang rekan sependakian siswa salah sebuah SMU di
Tangerang ini pun keracunan dan luka-luka. Dua di antaranya malah sempat
pingsan di sekitar Kawah Ratu.
Kata pihak kepolisian
sektor setempat, para pendaki ini tengah mengisi liburan dengan
pendakian. Sewaktu mulai mendaki, perbekalan yang mereka bawa ditengarai
kurang lengkap.
Tewasnya Mad Rizal menambah daftar
pendaki yang tewas di gunung. Tim SAR Wanadri pada periode 2000-2002
mencatat beberapa peristiwa kecelakaan gunung. Umpamanya, pada 11
Februari 2001, lima orang meninggal akibat tersesat dan terjebak badai
di Gunung Slamet. Sebulan kemudian, tepatnya pada 23 Maret, satu orang
tewas akibat tersesat di Gunung Salak. Masih di tahun yang sama, dua
bulan kemudian (20 Juli), Gunung Ciremai (3078 mdpl) meminta korban dua
orang tewas terjatuh ke kawah.
Sementara, yang tidak
diketahui tanggal pastinya, ada tiga peristiwa. Antara lain di Gunung
Gede (3 orang tersesat, 2 di antaranya tewas), Gunung Ciremai (1 orang
tewas terjatuh ke jurang), dan Gunung Semeru yang bertinggi 3676 mdpl (1
orang meninggal karena tersesat). Dua bulan sebelum peristiwa tewasnya
Mad Rizal, giliran Gunung Merapi (2921 mdpl) makan korban 1 orang tewas
lantaran tersesat.
Data lainnya yang dipunya SAR Wanadri
menyebutkan ada pula yang korbannya tak sampai meninggal. Seperti dua
orang yang tersesat di Gunung Argopuro (3089 mdpl) pada 15 Maret 2000
dan dua orang warga negara Jerman yang tersesat di Gunung Gede pada 18
Januari 2001.
“Rem pakem”
Dari catatan
peristiwa kelabu ini, membuktikan bahwa umumnya disebabkan oleh faktor
manusia. “Yang utama karena kesalahan diri sendiri,” tegas Antonius.
“Banyak
anak sekolah yang menyepelekan kondisi alam di gunung. Mereka berangkat
tanpa tujuan jelas, membawa peralatan seadanya, dan persiapan minim,”
tambah Perdana.
Kata Antonius, ada julukan yang kerap
disandangkan ke pendaki yang asal-asalan. “Namanya Rem Pakem alias
Remaja Pencinta Kemping,” lanjutnya. Maksudnya adalah pendaki yang
datang dan sekadar menikmati pemandangan. “Mereka kurang paham, kalau di
balik itu (pendakian) ada bahayanya,” sambungnya.
Bahaya
yang kerap datang persis seperti yang dialami Mad Rizal tadi. Tak bisa
dipungkiri, gunung-gunung di Pulau Jawa kebanyakan masih menyimpan
belerang aktif. Belerang yang tersimpan di kawah ini menghasilkan gas
yang bisa mengganggu pernapasan.
“Orang kadang nggak tahu.
Begitu sampai puncak, merasa capek, terus tidur-tiduran. Dia nggak tau
kalau di situ dekat sumber belerang,” jelas Antonius. Pada saat itulah
orang lantas menghirup gas tanpa sadar. Tiba-tiba kepala terasa pening
dan mual hebat.
Padahal, sebetulnya kita bisa lebih
waspada. “Kalau nggak ada makhluk hidup di sekitarnya, berarti ada
kemungkinan di situ ada gas beracun atau belerang,” tandas Perdana.
Memang,
pada rute-rute pendakian gunung di Pulau Jawa, jarang sekali ditemui
binatang buas atau kondisi alam yang benar-benar berat. “Sepengetahuan
gue, kondisi gunung-gunung di Jawa itu relatif aman,” terang Perdana
yang sudah 12 tahun tergabung di pencinta alam.
Karena
aman-aman saja, tak heran kalau kemudian banyak pendaki kurang awas. Di
sisi lain, faktor alam seringkali justru menjadi halangan. Sikap tak
hati-hati inilah yang membuat pendaki justru “dipermainkan” oleh alam
itu sendiri. Seperti cuaca yang kerap susah ditebak. Cuaca yang semula
bersahabat, tiba-tiba berubah menjadi musuh. “Cuaca yang buruk seperti
hujan deras, angin kencang, dan kabut bisa saja terjadi,” kata Perdana.
Sudah
banyak terjadi hal begini. Perubahan cuaca di gunung umumnya diiringi
dengan perubahan suhu udara yang drastis dan sangat dingin. Seorang
pendaki serampangan sangat mudah terserang hipotermia atau menurunnya
suhu tubuh akibat dinginnya udara luar. Pada kondisi seperti ini,
pendaki akan menggigil.
“Kadang sadar, kadang nggak.
Ngomongnya suka ngaco,” tambah Antonius. Jika suhu tubuh tak segera
dikembaikan ke titik normal, bukan tak mungkin akan makin fatal
akibatnya.
“Pada kondisi parah akan terjadi frostbite,
yaitu bekunya darah pada bagian tubuh tertentu,” jelas Perdana. Jika tak
segera diambil tindakan penyembuhan, hal yang paling fatal adalah
mengamputasi bagian tubuh yang terkena frostbite.
Salah jalur
Penguasaan
medan perjalanan yang minim juga salah satu faktor yang bikin celaka
pendaki. Kecelakaan di Gunung Salak salah satunya juga akibat si korban
tersesat. “Mereka keluar jalur. Karena mendapat tantangan, perasaan
petualangannya menjadi gede,” terang Antonius.
Dari
pengamatan Perdana, pendaki biasanya tersesat justru pada saat turun
gunung. “Ini terjadi karena kewaspadaan makin menurun akibat kondisi
fisik yang menurun,” jelasnya. Sudah begitu, ada pula yang mau buru-buru
sampai bawah. Bukannya sampai titik awal pendakian, pendaki malah
mengalami disorientasi jalur. Dan, tersesat.
Dari sejumlah
kasus di atas, makin jelaslah bahwa umumnya kecelakaan di gunung bukan
lantaran faktor alam. Tapi lebih karena perilaku manusia itu sendiri.
Bisa oleh sebab kurang persiapan matang. “Bisa juga karena takabur.
Pengin mencoba sesuatu yang baru, tapi mental nggak siap,” kata
Antonius.
Jadi, walau sepertinya tak sulit, mendaki gunung
tetap perlu persiapan yang matang. Toh, alam bukan untuk ditaklukkan,
tapi untuk diajak bersahat dan dikenali dengan baik kelakuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar